Selasa, 20 Oktober 2009

Bai'at

JUDUL BUKU : MEMBINA ANGKATAN MUJAHID
PENULIS : SA’ID HAWWA
PENERBIT : ERA INTERMEDIA
TAHUN : 2009
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, Rasulullah saw. Bersabda kepada Hudzaifah,
“Hendaklah kamu komitmen bersama jamaah kaum muslimin dan imamnya.”
Salah satu prinsip dasar yang tidak boleh diabaikan oleh seorang muslim adalah bahwa umat Islam harus mempunyai jamaah dan imam. Kewajiban utama setiap muslim ialah memberikan kesetiaannya kepada jamaah dan imamnya.
Memang, suatu jamaah baru bisa dikatakan sebagai jamaah islamiyah apabila ia telah memenuhi beberapa syarat, meliputi kepahaman dan kesadaran terhadap jamaah itu, serta kesucian pemimpinnya. Jamaatul muslimin adalah jamaah yang memahami Islam dengan baik dan komitmen penuh kepadanya dengan mengikuti cara-cara yang telah dilakukan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Ini merupakan sifat yang senantiasa harus melekat ditubuh umat Islam, demikianlah teks-teks syariat menegaskan. Oleh karena itu, jamaatul muslimin pada hakikatnya merupakan mata rantai sejarah umat Islam sepanjang zaman yang menghubungkan perjalanan aqidah, syariah, maupun system hidup seluruhnya.
Oleh karena itu telah menjadi kewajiban umat Islam untuk tidak memberikan ketaatan kepada selain jamaatul muslimin, maka mereka harus berkiblat pada jamaah yang telah mewakili wujud jamaatul muslimin. Hal itu agar kesetiaan orang muslim tidak tersia-sia, atau –karena sebab-sebab tertentu- diberikan kepada selain orang-orang Islam yang memiliki komitmen.
Oleh karena menegakkan hukum Islam merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka hal itu menuntut adanya sebuah jamaah yang bekerja untuk memperjuangkannya. Karena hukum Islam tidak akan terlaksana kecuali dengan adanya jamaah.
Bersamaan dengan itu, harus ada suatu aksi. Aksi yang dapat mengubah pribadi seorang muslim: dari tanpa tanggungjawab menuju setia padanya; dari ketidakacuhan kepada Islam menjadi setia kepadanya; dari kebodohan terhadap Islam menjadi paham tentangnya; dari lalai menjadi ingat dan sadar. Aksi yang beragam ini menuntut terwujudnya jamaah islamiyah.
Titik tolak untuk mewujudkan shaf yang mampu mencapai tujuan adalah dengan tersedianya individu yang mengetahui tujuan sekaligus cara-cara mencapainya secara jelas, juga kemampuan menyesuaikan diri dengan shaf.
Dahulu Rasulullah saw mengambil berbagi model bai’at dari para sahabatnya. Ada bai’at masuk Islam yang mengharuskan seseorang untuk tunduk kepada berbagi hukum Islam, ada lagi bai’at lain yang diambil dari para sahabatnya seperti bai’at di hari Aqobah. Ketika itu beliau mengambil bai’at dari kaum Anshar dalam rangka melingdunginya, sebagaimana mereka melindungi para istrinya. Di hari Bai’atur Ridwan para sahabat memberikan bai’atnya untuk tidak lari dari medan pertempuran.
Setelah masa Rasulullah saw, muncullah bai’at yang diberikan kepada Amirul Mukminin untuk mendengar dan taat dan bai’at kepada syaikh untuk betaqwa. Pada ujungnya, bai’at bentuk ini banyak dilakukan oleh kaum sufi, bahkan menjadi cirri khasnya.


Penjelasan tentang batasan-batasan bai’at yang dibutuhkan dewasa ini adalah :
1) Bai’at untuk memahami Islam secara benar. tanpa pemahaman yang benar ini, aktivitas untuk atau dengan nama Islam tidak akan pernah terjadi. Tanpa pemahaman, langkah bersama menuju Islam tidak bisa diwujudkan. Jika pun bisa, maka ia hanya berada pada ruang lingkup yang sempit dan tidak dapat memenuhi kebutuhan masa kini maupun masa mendatang.
2) Bai’at untuk berikhlas. Tanpa keikhlasan, amal apa pun tidak akan diterima oleh Allah, tidak juga dapat bergerak di medan dakwah secara benar. setelah itu, shaf pun akan terlibas tanpa bekas.
3) Bai’at untuk beraktivitas, yang telah digariskan awal langkahnya dan telah jelas tujuannya; yang memulai dari diri sendiri dan berakhir dengan penguasaan Islam atas dunia seluruhnya. Ini merupakan kewajiban yang tidak seorang muslim pun terlepas darinya.
4) Bai’at untuk melakukan jihad, yang banyak orang Islam lupa bahwa ia adalah neraca untuk menimbang iman.
5) Bai’at untuk berkorban denga segala yang dimiliki, demi meraih tujuan suci dan surga Allah.
6) Bai’at untuk taat sesuai dengan tingkatan kemampuannya.
7) Bai’at untuk tegar menghadapi segala kondisi di setiap waktu.
8) Bai’at untuk memberikan loyalitas total bagi dakwah ini dengan melepaskan diri dari keterikatan kepada selainnya.
9) Bai’at untuk berukhuwah sebagai titik tolak.
10) Bai’at untuk tsiqoh (memberikan kepercayaan) kepada pemimpin dan shafnya.

Demikianlah, bai’at memiliki sepuluh rukun. Jika terjadi pelanggaran pada salah satu dari rukun ini, maka titik tolaknya telah keliru dan bangunan dakwah tidak akan pernah selesai secara utuh. Jika itu yang terjadi, maka seorang akh mungkin akan kebobolan melalui rukun yang cacat ini dan pada gilirannya jamaah pun akan kebobolan melalui akh ini.
Oleh karena itu, pematrian tiap-tiap rukun –yang sepuluh- ini dalam diri setiap akh merupakan satu-satunya syarat yang menjamin awal langkah dan kesinambungannya.
Sungguh, Islam tidak akan bangkit tanpa kelompok semacam ini. Kelompok semacam ini tidak akan mampu melaksanakan syarat-syarat kebangkitan kecuali jika mereka memiliki komitmen penuh dengan risalah ini, yakni komitmen terhadap rukun-rukun bai’at dan menunaikan kewajiban-kewajibannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar